Konsep Fikih dan Ibadah dalam Islam
KONSEP FIKIH DAN IBADAH DALAM ISLAM
Islam adalah agama yang sempurna karena segala persoalan yang ada di dunia ini termasuk semua bentuk perbuatan manusia telah diatur didalamnya. Agama Islam diturunkan oleh Allah SWT untuk dijadikan pedoman hidup bagi
manusia baik yang berkaitan hubungan
manusia dengan Allah(hablum
minallah) maupun hubungan manusia dengan manusia(hablum minannas). Hal ini karena tugas manusia di dunia ini tidak lain adalah hanya beribadah
kepada Allah SWT. Meskipun itu merupakan tugas manusia, tetapi pelaksanaan
ibadah sejatinya bukanlah untuk Allah, karena Allah Azza wajalla tidak
memerlukan apapun dari manusia. Allah maha kaya dan maha segala-galanya. Ibadah
pada dasarnya adalah kebutuhan dan keutamaan manusia itu sendiri.
Dalam bab pertama ini akan dibahas tentang
persoalan hukum dan ibadah dalam Islam, yaitu peraturan-peraturan yang
diperuntukkan kepada manusia sekaligus bagaimana tata cara pelaksanaannya. Ada persoalan yang patut dijawab mengapa
terkadang kita menjumpai orang mengerjakan sholat tata caranya beraneka ragam
misalnya cara mengangkat tangan ketika takbiratul ihram, posisi tangan ketika melipat
di dada maupun di perut, posisi telunjuk tangan ketika tahiyat dan lain-lain. Padahal bukankah sumber hukum perintah sholat adalah sama yaitu
Al-qur’an?
Mengapa bisa seperti itu?
Untuk menjawab semua itu
tentunya kita harus bisa membedakan antara syari’ah, Fikih dan ibadah. Untuk
itu marilah kita pelajari dan kita gali persolan tersebut dalam bab yang pertama ini.
Di dalam syariat Islam terdapat tiga bagian yang sangat
urgen dan tidak dapat terpisahkan antara satu dengan yang lain yaitu:
Pertama, Ilmu Tauhid yaitu hukum atau peraturan-peraturan yang berhubungan dengan dasar-dasar
keyakinan agama Islam, yang tidak boleh diragukan dan harus benar-benar menjadi
keimanan kita. Misalnya, peraturan yang berhubungan dengan Dzat dan Sifat Allah
swt. yang harus iman kepada-Nya, iman kepada rasul-rasul-Nya,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan iman kepada hari akhir termasuk di
dalamnya kenikmatan dan siksa, serta iman kepada qadar baik dan buruk. Ilmu
tauhid ini dinamakan juga Ilmi Aqidah atau Ilmu Kalam.
Kedua, Ilmu Akhlak yaitu
peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pendidikan dan penyempurnaan
jiwa. Misalnya, segala peraturan yang mengarah pada perlindungan keutamaan dan
mencegah kejelekan-kejelekan, seperti kita harus berbuat benar, harus memenuhi
janji, harus amanah, dan dilarang berdusta dan berkhianat.
Kedua, Ilmu Fikih yaitu
peraturan-peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan
manusia dengan sesamanya. Ilmu Fiqh mengandung dua bagian:
pertama, ibadah, yaitu yang menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan manusia
dengan Tuhannya. Dan ibadah tidak sah (tidak diterima) kecuali disertai dengan
niat. Contoh ibadah misalnya shalat, zakat, puasa, dan haji. Kedua, muamalat,
yaitu bagian yang menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan antara manusia
dengan sesamanya.
A.
Konsep Fikih dalam Islam
Kata fikih adalah bentukan dari kata fiqhun yang
secara bahasa berarti فَهْمٌ عَمِيْقٌ (pemahaman
yang mendalam) yang menghendaki pengerahan potensi akal. Ilmu fikih merupakan
salah satu bidang keilmuan dalam syari’at Islam yang secara khusus membahas
persoalan hukum atau aturan yang terkait dengan berbagai aspek kehidupan
manusia, baik menyangkut individu, masyarakat, maupun hubungan manusia dengan
Penciptanya.
Definisi fikih secara istilah mengalami
perkembangan dari masa ke masa, sehingga tidak pernah bisa kita temukan satu
definisi yang tunggal. Pada setiap masa itu para ahli merumuskan pengertiannya
sendiri. Sebagai misal, Abu Hanifah mengemukakan bahwa
fikih adalah pengetahuan manusia tentang hak dan kewajibannya. Dengan demikian,
fikih bisa dikatakan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia dalam berislam,
yang bisa masuk pada wilayah akidah, syari’ah, ibadah dan akhlak. Pada
perkembangan selanjutnya, kita jumpai definisi yang paling populer, yakni
definisi yang dikemukakan oleh al-Amidi yang mengatakan bahwa fikih sebagai
ilmu tetang hukum syarak yang bersifat praktis yang diperoleh melalui dalil
yang terperinci.
Sekarang mari kita lihat beberapa definisi
fikih yang dikemukakan oleh ulama ushul fikih
berikut:
1. Ilmu yang mempunyai tema pokok dengan kaidah
dan prinsip tertentu. Definisi ini muncul dikarenakan kajian fikih yang
dilakukan oleh fuqaha’ menggunakan metode-metode tertentu, seperti kias,
istihsan, istishab, istislah dan sadduz zari’ah.
2. Ilmu tentang hukum syar’iyyah yang berkaitan
dengan perbuatan manusia, baik dalam bentuk perintah (wajib), larangan (haram),
pilihan (mubah), anjuran untuk melakukan (sunnah), maupun anjuran agar
menghindarinya (makruh) yang didasarkan pada sumber-sumber syari’ah, bukan akal
atau perasaan.
3. Ilmu tentang hukum syar’iyyah yang berkaitan
dengan ibadah dan mu’amalah. Dari sini bisa dimengerti kalau fikih merupakan
hukun syari’at yang lebih bersifat praktis yang diperoleh dari istidlal atau
istinbath (penyimpulan) dari sumber-sumber syari’at (al-Qur’an dan al-Hadis).
4. Fikih diperoleh melalui dalil yang
terperinci (tafshili), yakni al-Qur’an dan al-Sunnah, kias dan ijma’ melalui
proses istidlal, istinbath atau nadhar (analisis). Oleh karena itu tidak
disebut fikih manakala proses analisis untuk menentukan suatu hukum tidak
melalui istidlal atau istinbath terhadap salah satu sumber hukum tersebut.
Ulama fikih sendiri mendefinisikan fikih
sebagai sekumpulan hukum amaliyah (yang akan dikerjakan) yang disyari’atkan
dalam Islam. Dalam hal ini kalangan fuqaha membaginya menjadi dua pengertian,
yakni: pertama, memelihara hukum furuk (hukum keagamaan yang tidak
pokok) secara mutlak (seluruhnya) atau sebagiannya. Kedua, materi hukum
itu sendiri, baik yang bersifat qath’i maupun yang bersifat dhanni.
Sementara itu, Musthafa Ahmad az-Zarqa, seorang
pakar fikih dari Yordania, membagi fikih menjadi dua,
yaitu ilmu tentang hukum, termasuk ushul fikih dan kumpulan hukum furuk.
B.
Ruang Lingkup Fikih
Ruang lingkup yang terdapat pada
ilmu Fikih adalah semua hukum yang berbentuk amaliyah untuk diamalkan oleh setiap mukallaf
(Mukallaf artinya orang yang sudah dibebani atau diberi tanggungjawab
melaksanakan ajaran syariat Islam dengan tanda-tanda seperti baligh, berakal, sadar,
sudah masuk Islam).
Hukum yang diatur dalam
fiqh Islam itu terdiri dari hukum wajib, sunah, mubah, makruh dan haram; di samping itu ada pula dalam bentuk yang lain
seperti sah, batal, benar, salah dan sebagainya.
Obyek
pembicaraan Ilmu Fikih adalah hukum yang bertalian dengan perbuatan orang-orang mukallaf yakni orang
yang telah akil baligh dan mempunyai hak dan
kewajiban. Adapun ruang lingkupnya seperti telah disebutkan di muka meliputi:
a.
Pertama, hukum yang bertalian dengan hubungan manusia dengan khaliqnya
(Allah SWT). Hukum-hukum itu bertalian dengan hukum-hukum ibadah.
b.
Kedua, hukum-hukum yang bertalian dengan muammalat, yaitu
hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya baik pribadi maupun
kelompok. Kalau dirinci adalah:
1)
Hukum-hukum keluarga yang
disebut Al Ahwal Asy Syakhshiyyah. Hukum ini mengatur manusia dalam keluarga
baik awal pembentukannya sampai pada akhirnya.
2) Hukum-hukum perdata, yaitu hukum yang bertalian manusia dengan
hubungan hak kebendaan yang disebut mu’amalah maddiyah.
3) Hukum-hukum lain termasuk hukum-hukum yang bertalian dengan
perekonomian dan keuangan yang disebut al ahkam al iqtishadiyah wal maliyyah.
Inilah hukum-hukum Islam yang dibicarakan dalam kitab-kitab Fikih dan terus
berkembang.
C.
Perbedaan Fikih
dengan Syari’at
Secara etimologi, kata syari’at berarti sumber
air yang digunakan untuk minum. Namun dalam perkembangannya kata ini lebih sering
digunakan untuk jalan yang lurus (الطريقة
المستقيمة), yakni agama yang benar. Pengalihan ini
bisa dimengerti karena sumber mata air merupakan kebutuhan pokok manusia untuk
memelihara kehidupannya, sedangkan agama yang benar juga merupakan kebutuhan
pokok manusia yang akan membawa pada keselamatan dan kebaikan hidup di dunia
dan akhirat. Oleh karena itu, selanjutnya arti syari’at menjadi agama yang
lurus yang diturunkan oleh Allah SWT (satu-satunya Tuhan semesta Alam) untuk
umat manusia. Secara umum keberadaan syariat Islam ialah untuk mengatur
kehidupan manusia sebagai makhluk individual
untuk taat, tunduk dan patuh kepada Allah SWT. Ketaatan dan ketundukan tersebut diwujudkan
dalam bentuk ibadah yang telah diatur dalam syariat Islam. Adapun tujuan syariah secara khusus yang lebih dikenal dengan
istilah Maqhasid Al Syariah yaitu:
1. Untuk memelihara agama (Hifdz Al din)
Yaitu
untuk menjaga dan memelihara tegaknya
agama dimuka bumi. Agama diturunkan oleh Allah untuk dijadikan pedoman hidup
dalam hablum minallah dan hablum minannas, sehingga manusia akan sejahtera dan tenteram dalam kehidupan dunia
dan kehidupan akhirat. Oleh karena itu agama menjadi sesuatu hal yang sangat
penting dan mutlak bagi manusia.
2. Memelihara jiwa (Hifdz al Nafs)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara jiwa manusia
dalam arti luas. Larangan membunuh
manusia merupakan salah satu bentuk dari peran syariah untuk memberikan
kedamaian dan kenyamanan dalam berkehidupan.
3. Memelihara akal (Hifdz Al Aql)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara akal sebagai anugerah
Allah yang sangat prinsip karena tidak diberikan kepada makhluk selain manusia. Akal inilah diantara anugerah Allah yang paling utama, sehingga dapat
membedakan antara manusia dengan makhluk lain dan dapat membedakan antara
manusia yang sehat jiwanya dengan manusia yang tidak sehat jiwanya
4. Memelihara keturunan (Hifdz Al Nasl)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara keturunan yang baik
karena dengan memelihara keturunan, agama
akan berfungsi, dunia akan terjaga. Salah satu
bentuknya adalah hukum tentang pernikahan yang telah banyak diatur dalam
Al-qur’an dan As-sunnah.
5. Memelihara harta (Hifdz Al Mal)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara harta benda dalam rangka
sebagai sarana untuk beribadah kepadanya.
Selanjutnya, mari
kita perhatikan uraian para pakar fikih yang menjelaskan fikih secara
terminologis berikut:
1. Asy-Syatibi menjelaskan bahwa syari’at sama
dengan agama
2. Manna al-Qaththan (pakar fikih dari Mesir)
mengatakan bahwa syari’at merupakan segala ketentuan Allah SWT bagi hamba-Nya
yang meliputi akidah, ibadah, akhlak dan tata kehidupan manusia untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat.
3. Fathi ad-Duraini menyatakan bahwa syari’at
adalah segala yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, baik
yang ada dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah al-Shahihah, di mana keduanya disebut
dengan teks-teks suci (النصوص المقدسة).
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa syari’at adalah teks-teks suci yang
bebas dari kesalahan, baik isi maupun keautentikannya, yang darinya bersumber
pemahaman ulama yang mendalam yang menghasilkan kesimpulan hukum-hukum amaliah (fikih). Upaya untuk memahami
teks-teks suci yang dilakukan oleh para ulama untuk menghasilkan hukum sesuatu
inilah yang dikenal sebagai ijtihad. Dengan
kata lain, fikih merupakan hasil ijtihad para ulama yang tentu kualitasnya
tidak bisa disamakan dengan kesucian dua hal yang menjadi sumbernya, yakni
al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh karena itu tidak salah, kalau dalam penjelasannya
Fathi ad-Duraini mengatakan bahwa syari’at selamanya bersifat benar, sedangkan
fikih karena merupakan hasil pemikiran manusia memungkinkan untuk benar ataupun
salah.
Meskipun fikih merupakan hasil ijtihad atau
pikiran ulama, kita juga tidak boleh meremehkan begitu saja karena para ulama
dalam berijtihad melakukannya dengan disiplin metodologi keilmuan yang sangat
ketat. Seperti halnya dalam dunia kedokteran, hasil ijtihad para ulama, walau
tidak dapat dikatakan sama persis, bisa diserupakan dengan resep obat sebuah
penyakit yang direkomendasikan oleh dokter berdasarkan keilmuan yang
dikuasainya. Oleh karena itu, seorang pasien yang awam dalam ilmu kedokteran
hendaknya mengikuti saja resep yang disarankan oleh dokter. Namun demikian,
bukan berarti dokter adalah sosok yang tak mungkin salah. Ia tetap sosok
manusia biasa yang mungkin juga melakukan kesalahan. Nah, bagi pasien yang
gejala penyakitnya tidak mengalami perubahan untuk sembuh, bisa mencari
pengobatan baru ke dokter lain yang lebih ahli (dari dokter umum ke spesialis,
misalnya) sehingga tertangani dengan tepat, bukan mengobati dirinya sendiri
tanpa pengetahuan yang memadahi. Sementara itu bagi dokter lain yang memiliki
kemampuan dan kewenangan untuk mengecek apakah yang dilakukan oleh seorang
dokter merupakan kesalahan malpraktik atau tidak, bisa melakukan penelitian
untuk membuat kesimpulan dan menyatakan kebenaran atau kesalahan suatu tindakan
seorang dokter.
Sedikit berbeda dari kasus kedokteran, dalam
fikih, karena dasar berpijaknya adalah al-Qur’an dan al-Sunnah (sebagai korpus
terbuka, di mana seluruh umat bisa mengaksesnya), setiap fatwa fikih yang
dikeluarkan oleh ulama bisa dipertanyakan atau ditelusuri dasar berpijaknya
dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Ketika sebuah fatwa fikih yang dikeluarkan itu
ditemukan dasar berpijaknya dalam kedua sumber tersebut, tentunya dengan
metodologi keilmuan fikih yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan, maka umat
pun akan tenang melakukan fatwa tersebut sebagai sesuatu yang benar secara
syar’i. Mengetahui dasar berpijak sebuah fatwa inilah yang justru disarankan
dalam Islam, yang lebih dikenal sebagai ittiba’ (nanti akan dibahas
tersendiri), bukan mengikutinya secara membabi buta (taqlid).
Sehingga letak perbedan
antara Syariah
dan Fikih adalah sebagai berikut:
SYARIAH
|
FIKIH
|
Bersumber
dari Alqur’an Hadits serta kesimpulan-kesimpulan yang diambil dari keduanya
|
Bersumber
dari para Ulama dan ahli Fiqh , tetapi tetap merujuk pada Al-Qur'an dan
Hadist
|
Hukumnya
bersifat Qath'i (Pasti)
|
Hukumnya
bersifat dhanni
(dugaan)
|
Hukum
Syariatnya hanya Satu (Universal) tetapi harus ditaati oleh semua umat Islam
|
Berbagai
ragam cara pelaksanaannya
|
Tidak
ada campur tangan manusia (ulama) dalam menetapkan hukum
|
Adanya
campur tangan (ijtihad) para Ulama dalam penetapan pelaksanan hukum
|
Contoh Sederhana Perbedaan Syari’at, Fikih dan
Bukan Fikih
Untuk memperoleh gambaran yang bisa mempermudah
kalian membedakan syari’at, fikih dan bukan fikih, mari kita perhatikan ayat
al-Qur’an dan sunnah Nabi terkait dengan wudhu berikut:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu
dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…. (al-Maidah: 6)
عَنْ
عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى
مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ (رواه البخاري)
Umar bin Al Khaththab diatas mimbar berkata;
saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Semua
perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung)
apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin
digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya
adalah kepada apa dia diniatkan" (HR. Bukhari, Hadis No. 1)
Dari ayat dan hadis di atas, para ulama fikih
merumuskan rukun wudhu ada enam, yakni: niat, membasuh muka, membasuh tangan,
mengusap kepala dan membasuh kaki, serta
dilakukan dengan tertib. Niat diperoleh dari hadis ketika memulai sebuah
perbuatan (dalam hal ini wudhu), sedangkan setelah itu dari membasuh muka
sampai dengan kaki diperoleh dari al-Qur’an. Sementara itu tertib diperoleh
dari kaidah ushul fikih bahwa huruf wawu pada surat al-Maidah di atas
menunjukkan urutan. Ketika terjadi perbedaan antar ulama fikih, apakah niat itu
dilafadzkan ataukah cukup dalam hati, maka perbedaan pemahaman ini masih bisa
ditolerir, artinya tidak sampai menghilangkan keabsahan wudhu yang dilakukan
seseorang, dan masih bisa dikategorikan memiliki dasar berpijak dari al-Qur’an
maupun sunnah Nabi (sebagai syari’ah). Sedangkan contoh pendapat yang keluar
dan tidak bisa disebut sebagai fikih (pemahaman yang mendalam atas al-Qur’an
dan sunnah Nabi), adalah ketika orang berwudhu tanpa niat, kemudian hanya
membasuh kaki saja. Perbuatan seperti ini tidak disebut fikih, dan tidak sah
disebut sebagai wudhu. Demikian sekilas gambaran yang membedakan syari’ah,
fikih dan yang bukan fikih. Kajian yang lebih mendalam bisa kalian lakukan
sambil belajar di Madrasah kalian.
Contoh yang
lain adalah tentang perintah sholat
dan tata cara pelaksaannya.
Perintah sholat adalah masuk kategori
syariah, sementara tata cara pelaksaan sholat adalah masuk wilayah fikih. Sehingga tata cara pelaksaan shalat terutama pada gerakan dan beberapa bacaannya
terkadang terjadi perbedaan antara ulama’ yang satu dengan ulama yang lain. Sementara
gerakan yang tidak termasuk fikih adalah memutar-mutar tangan pada saat setelah
takbiratul ikhram.
D.
Ibadah dan
Karakteristiknya
1.
Pengertian Ibadah
Menurut bahasa ada tiga makna dalam pengertian ibadah;
(1) ta’at (الطاعة); (2) tunduk الخضوع);) (3 (hina (الذلّ); dan (التنسّك) pengabdian. Jadi ibadah itu merupakan
bentuk ketaatan, ketundukan, dan pengabdian kepada Allah.
Didalam Al Qur`an, kata ibadah
berarti: patuh (at-tha`ah), tunduk (al-khudu`),
mengikut, menurut, dan do`a. Dalam pengertian yang sangat luas, ibadah adalah
segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa perkataan maunpun
perbuatan. Adapun menurut ulama Fikih, ibadah adalah semua bentuk pekerjaan
yang bertujuan memperoleh ridho Allah dan mendambakan pahala dari-Nya di
akhirat.
2.
Dasar tentang ibadah dalam Islam
Dalam
al-Qur’an banyak ayat tentang dasar-dasar tentang ibadah sebagaimana berikut di
bawah ini :
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku. ( Q.S. Adz-Dzariyat : 56 )
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang
yang sebelummu, agar kamu bertakwa,( Q.S.
Al-Baqarah : 21 )
3. Macam-macam Ibadah
Secara garis besar, ibadah dibagi
menjadi 2 yakni : ibadah khassah (khusus) atau mahdah
dan ibadah `ammah (umum) atau ghairu mahdah.
a. Ibadah mahdah adalah ibadah yang khusus
berbentuk praktik atau pebuatan yang menghubungkan antara hamba dan Allah
melalui cara yang telah ditentukan dan diatur atau dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Oleh
karena itu, pelaksanaan dan bentuk ibadah ini sangat ketat, yaitu harus sesuai
dengan contoh dari Rasulullah seperti, shalat, zakat, puasa, dan haji.
b. Adapun ibadah ghairu
mahdah adalah
ibadah umum berbentuk hubungan sesama manusia dan manusia dengan alam yang memiliki nilai ibadah. Ibadah
ini tidak ditentukan cara dan syarat secara detail, diserahkan kepada manusia
sendiri. Islam hanya memberi perintah atau anjuran, dan prinsip-prinsip umum
saja. Misalnya : menyantuni fakir-miskin, mencari nafkah, bertetangga,
bernegara, tolong-menolong, dan lain-lain.
Ibadah dari segi
pelaksanaannya dapat dibagi dalam 3 bentuk, yakni sebagai berikut:
a. Ibadah Jasmaniah Rohaniah, yaitu perpaduan ibadah
antara jasmani dan rohani misalnya shalat dan puasa.
b. Ibadah Rohaniah dan maliah, yaitu perpaduan ibadah
rohaniah dan harta seperti zakat.
c. Ibadah Jasmani, Rohaniah, dan Maliah yakni ibadah yang
menyatukan ketiganya contohnya seperti ibadah Haji.
Ditinjau dari segi
kepentingannya, ibadah dibagi menjadi 2 yaitu kepentingan fardi
(perorangan) seperti shalat dan kepentingan ijtima`i(masyarakat)
seperti zakat dan haji. Ditinjau dari segi bentuknya,
ibadah ada 5 macam yaitu sebagai berikut :
a.
Ibadah dalam bentuk
pekataan atau lisan, seperti zikir, doa, tahmid, dan membaca Al Qur`an.
b.
Ibdaha dalam bentuk
perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti membantu atau menolong orang
lain, jihad, dan mengurus jenazah.
c.
Ibadah dalam bentuk
pekerjaan yang telah ditentukan bentuknya, seperti shalat, puasa, zakat dan
haji.
d.
Ibadah yang tata cara
pelaksanaannya berbentuk menahan diri, seperti puasa, i`tikaf, dan ihram.
e.
Ibadah yang berbentuk
menggugurkan hak, seperti memaafkan orang yang telah melakukan kesalahan
terhadap dirinya dan membebaskan sesorang yang berutang kepadanya.
4.
Prinsip prinsip-prinsip
ibadah dalam Islam
Ibadah yang disyari’atkan oleh Allah SWT dibangun di atas
landasan yg kokoh, yaitu :
a.
Niat lillahi ta’ala
(Al-Fatihah/1:5)
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
(٥)
Hanya
Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta
pertolongan.
b. Ibadah yang tulus kepada Allah SWT semata haruslah bersih dari
noda-noda kesyirikan. Apabila sedikit saja dari kesyirikan bercampur dengan
ibadah maka rusaklah ibadah itu .Ibadah dilakukan tanpa perantara,baik berupa
manusia,binatang, benda,maupun tumbuh-tumbuhan.
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dgn Rabb-nya maka hendaklah ia
mengerjakan amal saleh & janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam
beribadat kpd Rabb-nya” (QS Al Kahfi:110)
c.
Keharusan untuk menjadikan Rasulullah SAW
sebagai teladan & pembimbing dalam ibadah.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri tauladan yg baik bagi kalian…” (QS Al Ahzaab:21)
d. Ibadah itu memiliki batas kadar dan waktu yang tidak boleh
dilampaui. Sebagaimana firman Allah SWT. :
- “Sesungguhnya
shalat kewajiban yg telah ditentukan waktunya” (QS An-Nissa:103)
e.
Keharusan menjadikan ibadah
dibangun diatas kecintaan, ketundukan, ketakutan dan pengharapan kepada Allah SWT.
- “Orang-orang
yg mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di
antara mereka yg lebih dekat (kepada Allah) & mengharapkan rahmat-Nya &
takut akan azab-Nya” (QS Al Israa’ :57)
f.
Seimbang antara dunia akhirat,
artinya proporsional tidak hanya semata-semata kehidupan akhirat saja yang
dikejar tetapi kehidupan dunia juga tidak dilupakan sebagai sarana beribadah
kepada Allah SWT (Al-Qashash/28:77)
وَابْتَغِ
فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ
إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
g.
Ibadah tidaklah gugur
kewajibannya pada manusia sejak baligh dalam keadaan berakal sampai meninggal
dunia.
“…dan
janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan memeluk agama Islam” (QS Aali ‘Imran:102)
5.
Tujuan ibadah dalam Islam
Tujuan ibadah adalah untuk membersihkan dan
mensucikan jiwa dengan mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah SWT serta mengharapkan ridha
dari Allah SWT. Sehingga ibadah
disamping untuk kepentingan yang bersifat ukhrawi juga untuk kepentingan dan kebaikan bagi diri sendiri,
keluarga serta masyarakat yang bersifat duniawi.
6.
Rukun Ibadah
a.
Al-Hubb (cinta)
Dengan kecintaan yang tinggi kepada
Allah subhanahu wata’ala, seorang hamba akan sampai pada penghambaan diri
kepada-Nya subhanahu wata’ala, sebab puncak dari al-Hubb adalah penghambaan.
Sehingga tidak akan terbangun penghambaan diri kepada Allah azza wajalla
kecuali dengan terkumpulnya keduanya sekaligus, yaitu cinta.
b.
Al-Khouf (takut)
Ia merupakan peribadatan hati dan rukun ibadah yang agung di mana keikhlasan seseorang
dalam beragama bagi Allah swt
sebagaimana yang Dia perintahkan kepada hamba-Nya tidak akan lurus kecuali
dengannya. Khauf ialah kegundahan hati akan terjadinya sesuatu yang tidak
disuka berupa hukuman dan adzab dari Allah yang menimbulkan sikap penghambaan
dan ketundukan seorang hamba kepada-Nya.
c.
Ar-Raja’ (berharap).
Ia juga termasuk peribadahan hati dan
rukun ibadah yang
sangat agung. Ialah harapan yang kuat atas rohmat dan balasan berupa pahala
dari Allah subhanahu wata’ala yang menyertai ketundukan dan penghinaan diri
kepada-Nya subhanahu wata’ala.
Maka, ibadah yang telah Allah azza
wajalla fardhukan kepada hamba-Nya harus terdapat tiga rukun tersebut dengan sempurna.
Peribadahan kepada Allah azza wajalla harus disertai ketundukan dan kecintaan
yang sempurna serta rasa takut dan harapan yang tinggi. Bila ketiganya terdapat
dalam sebuah amalan maka ia benar-benar bermakna ibadah.
Ibadah dalam Islam menempati posisi yang
paling utama dan menjadi titik sentral seluruh aktivitas manusia. Sehingga apa
saja yang dilakukan oleh manusia bisa bernilai ibadah namun tergantung pada
niatnya masing-masing, maka dapat dikatakan bahwa aktivitas manusia dapat
bernilai ganda, yaitu bernilai material dan bernilai spiritual.
6.
Keterkaitan ibadah dalam kehidupan
sehari-hari
Ibadah dalam Islam menempati posisi yang paling utama dan
menjadi titik sentral seluruh aktivitas manusia. Sehingga apa saja yang
dilakukan oleh manusia bisa bernilai ibadah namun tergantung pada niatnya
masing-masing, maka dapat dikatakan bahwa aktivitas manusia dapat bernilai
ganda, yaitu bernilai material dan bernilai spiritual.
PENDALAMAN
KARAKTER
Dengan
memahami ajaran Islam mengenai Syariah, Fikih dan ibadah maka seharusnya kita memiliki sikap sebagai berikut :
1.
Membiasakan diri untuk ikhlas
dan taat beribadah dalam kehidupan sehari-hari
2.
Berbuat baik
kepada orangtua dengan diniati ibadah
3.
Menghargai perbedaan tata cara
melakukan ibadah sehingga keharmonisan tetap selalu terjaga
4.
Menghidari
sikap, perbuatan maupun ucapan yang
termasuk kategori tercela
5.
Membiasakan tertib dan disiplin
dalam melaksanakan ibadah sehinggga akan berdampak pada tindakan sehari-hari
RANGKUMAN
1.
Menurut
bahasa Syariat artinya jalan menuju tempat keluarnya air minum atau jalan lurus
yang harus diikuti. Menurut istilah syariat artinya hukum-hukum dan tata aturan
Allah yang ditetapkan bagi hamba-Nya untuk diikuti.
2.
Tujuan syariat Islam adalah:
a.
Untuk
memelihara agama (Hifdz Al din)
Maksudnya adalah kewajiban menjaga dan memelihara
tegaknya agama dimuka bumi
b.
Memelihara
jiwa (Hifdz al Nafs)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara jiwa
manusia
c.
Memelihara
akal (Hifdz Al Aql)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara akal karena
akal merupakan anugerah Allah yang sangat prinsip karena tidak diberikan kepada
makhluk selain manusia
d.
Memelihara
keturunan (Hifdz Al Nasl)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara keturunan
yang baikkarena dengan memelihara keturunan, agama akan berfungsi, dunia akan
terjaga, bumi akan termakmurkan
e.
Memelihara
harta (Hifdz Al Mal)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara harta benda
dalam rangka sebagai sarana untuk beribadah kepadanya.
3. Fikih merupakan
bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah
Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan
berakal sehat (mukallaf) dan diambil dari dalil yang terinci.
4. Ibadah adalah segala amal atau perbuatan yang
dicintai dan diridhai Allah baik berupa perkataan, perbuatan atau tingkah laku
Salam, Nur Amin, M.Pd
LATIHAN SOAL
I.
Jawablah
pertanyaan di bawah ini dengan baik dan benar !
- Jelaskan perbedaan antara fikih, syariah dan ibadah !
- Benarkah syariah yang selama ini kita lakukan bersumber dari alqur’an dan hadits? Jelaskan !
- Bagaimana agar ibadah kita diterima oleh Allah SWT jelaskan !
- Sebutkan dan Jelaskan macam-macam Ibadah !
- Ketika ada suara adzan waktu shalat magrib padahal kamu sedang asyik bermain Facebook. Apa yang kamu lakukan ?
Bu niki di kerjake kapan bu
BalasHapus