Konsep Ushul Fiqih
KONSEP USHUL FIQIH
Ushul Fiqih merupakan "Ilmu tentang hukum-hukum syara' mengenai
perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci." Ilmu ini dibutuhkan
ketika perkembangan Islam sudah begitu pesat dan perkembangan masalah hukum
banyak terjadi sehingga para ulama bersepakat adanya ilmu ushul fiqih. Permasalahan-permasalahan hidup manusia tidak
akan mengalami stagnasi melainkan terus berkembang sampai akhir zaman. Begitu
pula permasalahan hukum akan terus berkembang selama masih ada manusia di
kehidupan ini. Menghadapi perihal tersebut para ulama bersepakat untuk membuat
ilmu ushul Fiqih. Dalam bab ini akan dijelaskan tentang permasalahan tersebut
yang meliputi pengertian ushul Fiqih, perbedaan ilmu Fiqih dengan ushul Fiqih,
ruang lingkup ushul Fiqih dan hubungan antara ilmu ushul Fiqih dan ilmu Fiqih.
1. Pengertian Ushul Fiqih
Kata Ushul Fiqih dapat dilihat
sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata Ushul dan kata Fiqih.
Kata Ushul
adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Dan Fiqih
itu sendiri menurut bahasa, berarti paham atau tahu. Dalam
istilah, mengandung makna "Ilmu
tentang hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang
terperinci."
Jadi, pengertian Ushul Fiqih sebagai
rangkaian dari dua buah kata, yaitu dalil-dalil bagi hukum syara' mengenai
perbuatan dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi pengambilan
hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.
a. Menurut Abdul Wahhab Khallaf
Ilmu tentang kaidah-kaidah (aturan-atura/ketentuan-ketentuan) dan
pembahasan-pemhahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara'
mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.
b. Menurut Muhammad Abu Zahrah
Ilmu yang menjelaskan jalan-jalan yang ditempuh oleh imam-imam
mujtahid dalam mengambil hukum dari dalil-dalil yang berupa nash-nash syara'
dan dalil-dalil yang didasarkan kepadanya, dengan memberi 'illat
(alasan-alasan) yang dijadikan dasar ditetapkannya hukum serta
kemaslahatan-kemaslahatan yang dimaksud oleh syara'.
Jadi Ushul Fiqih adalah ilmu yang mempelajari cara-cara
atau kaidah-kaidah, teori-teori dan sumber-sumber secara terinci dalam rangka
menghasilkan hukum Islam.
2. Objek
Kajian Ilmu Ushul Fiqih
Menurut ulama mazhab Syafi'i yang menjadi obyek kajian para ulama ushul fiqih adalah dalil-dalil yang
bersifat global seperti kehujahan ijma’ dan
qias, cara menetapkan hukum dari
dalil-dalil tersebut, dan status orang yang menggali dalil serta pengguna hukum
tersebut. Untuk yang disebut ini mencakup syarat-syarat
mujtahid serta syarat-syarat taklid.
Menurut Muhammad Mustafa
az-Zuhaili, menyatakan bahwa yang menjadi obyek
kajian ushul fiqih adalah sebagai berikut :
a. Mengkaji sumber hukum Islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali
hukum syara’, baik yang disepakati (seperti kehujahan Al-Qur'an dan sunah Nabi
SAW), maupun yang diperselisihkan (seperti kehujahan istihsan al-maslahah
al-mursalah)
b. Mencarikan jalan keluar dari
dalil-dalil yang secara lahir dianggap bertentangan, baik melalui al-jam'u wa at-taufiq (pengompromian
dalil), tarjih al-adillah, nasakh,
atau tasaqut ad-dalilain (pengguguran
kedua dalil yang bertentangan). Misalnya, pertentangan ayat dengan ayat, ayat
dengan hadits, atau hadits dengan pendapat akal.
c. Pembahasan ijtihad,
syarat-syarat, dan sifat-sifat orang yang melakukannya (mujtahid), baik yang
menyangkut syarat-syarat umum maupun syarat-syarat khusus keilmuan yang harus
dimiliki mujtahid.
d. Pembahasan tentang hukum syara’
(nas dan ijma’), yang meliputi syarat dan macam-macamnya, baik yang bersifat
tuntutan untuk berbuat, meninggalkan suatu perbuatan, memilih untuk melakukan
suatu perbuatan atau tidak, maupun yang berkaitan dengan sebab, syarat, mani', sah, fasid, serta azimah dan rukhsah. Dalam pembahasan hukum ini juga
dibahas tentang pembuat hukum (al-mahkum
alaih), ketetapan hukum dan syarat-syaratnya, serta perbuatan-perbuatan
yang dikenai hukum.
e. Pembahasan tentang kaidah-kaidah
yang digunakan dan cara menggunakannya dalam meng-istinbat-kan hukum dari
dalil-dalilnya, baik melalui kaidah bahasa maupun melalui pemahaman terhadap
tujuan yang akan dicapai oleh suatu nash (ayat atau hadits).
Dengan demikian terlihat jelas perbedaan antara obyek ushul fiqih
dan obyek fiqih itu sendiri. Obyek kajian ushul fiqih adalah dalil-dalil,
sedangkan obyek fiqih adalah perbuatan seseorang yang telah mukallaf (telah dewasa dalam menjalankan
hukum). Jika ahli ushul fiqih membahas dalil-dalil dan kaidah-kaidah yang
bersifat umum, maka ahli fiqih mengkaji bagaimana dalil-dalil juz'i (sebagian) dapat diterapkan pada
peristiwa-peristiwa khusus.
Misalnya, perintah adalah
wajib, hal ini merupakan ketentuan universal yang sesuai dengan
bagian-bagiannya sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an bahwa aqimu al
Shalah (dirikanlah sholat) dan atu al zakah (keluarkan zakat).
Sedangkan cara menggunakan
ketentuan-ketentuan universal dalam menggali hukum syara’ ialah, firman Allah aqimu
kalimat perintah yang menunjukkan makna thalab (tuntutan) yaitu kerjakan
dan tidak ada tanda-tanda yang mengalihkan perkataan dari makna perintah kepada
makna lainnya.
Oleh karena itu, setiap
kalimat yang menunjukkan arti perintah selama tidak ada hal yang mengalihkan
dari makna asalnya maka kalimat tersebut menunjukkan wajib. Hasilnya, bahwa aqimu
menuntut wajibnya pekerjaan yang dituntut aqimu yaitu sholat. Akhirnya,
sebuah produk hukum yang dikandung dalam aqimu al Shalah bahwa sholat
itu wajib.
3. Tujuan mempelajari Usul Fiqih
Tujuan mempelajari Ushul Fiqih adalah ;
a. Untuk mengetahui proses
pengambilan keputusan hukum/istimbath
dari dalil-dalil nash dan alasan-alasanya.
b. Untuk mengetahui mana yang disuruh mengerjakan dan mana pula
yang dilarang mengerjakannya. Dan mana yang haram, mana yang halal, mana yang
sah, mana yang bathal dan mana pula yang fasid, yang harus diperhatikan dalam
hal segala perbuatan yang disuruh harus di kerjakan dan yang dilarang harus
ditinggalkan.
c. Untuk mengetahui hukum-hukum
syari’at Islam dengan jalan yakin (pasti) atau dengan jalan zhan (dugaan,
perkiraan).
d. Untuk menghindari taklid
(mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui alasan-alasannya) hal ini dapat
berlaku.
e. Dapat mengambil hukum soal-soal cabang kepada soal-soal yang pokok atau
dengan mengembalikan soal-soal cabang kepada soal-soal pokok.
f. Orang dapat menghidangkan ilmu pengetahuan agama
sebagai konsumsi umum dalam dunia pengetahuan yang selalu maju dan berkembang
mengikuti kebutuhan hidup manusia sepanjang zaman.
g. Sekurang-kurangnya, orang dapat memahami mengapa
para Mujtahid zaman dulu merumuskan Hukum Fiqih seperti yang kita lihat
sekarang. Pedoman
dan norma apa saja yang mereka gunakan dalam merumuskan hukum itu. Kalau mereka
menemukan sesuatu peristiwa atau benda yang memerlukan penilaian atau hukum
Agama Islam, apa yang mereka lakukan untuk menetapkannya; prosedur mana yang
mereka tempuh dalam menetapkan hukumnya.
h. Mengetahui bagaimana Hukum Fiqih itu diformulasikan dari sumbernya.
Dengan itu orang juga dapat memahami apa formulasi itu masih dapat
dipertahankan dalam mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang;
atau apakah ada kemungkinan untuk direformulasikan. Dengan demikian, orang juga
dapat merumuskan hukum atau penilaian terhadap kenyataan yang ditemuinya
sehari-hari dengan ajaran Islam yang bersifat universal itu.
4. Perbedaan Usul Fiqih dan Fiqih
a. Pengetahuan Fiqih itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan
dalam ilmu ushul Fiqih
b. Pokok bahasan Ilmu Fiqih
adalah perbuatan orang-orang mukallaf, yakni orang-orang yang telah dibebani
ketetapan-ketetapan hukum agama Islam. Sedang Ushul Fiqih menyelidiki keadaan dalil-dalil syara’ dan menyelidiki
bagaimana caranya dalil-dalil tersebut menunjukkan hukum-hukum yang berhubungan
dengan perbuatan orang mukallaf. Karena itu, yang dibicarakan oleh ushul Fiqih
ialah dalil-dalil syara’ dari segi penunjukannya kepada hukum atas perbuatan
orang mukallaf.
c. Tujuan mempelajari Ilmu Fiqih adalah untuk dapat menerapkan hukum
syara’ bagi mukallaf dengan status hukumnya (wajib, sunnah, haram, mubah dan
makruh) . Sedang Ushul Fiqih adalah untuk mengetahui proses hingga ketetapan
hukum dihasilkan (produk hukum) yang dilakukan melalui metode istimbath hukum, berdasar dalil, kaidah,
alasan tertentu sehingga perbuatan itu apakah wajib, sunnah, haram, mubah atau
makruhdilaksanakan oleh mukallaf.
d. Ilmu Fiqih segala pekerjaan para mukallaf yang berkaitan dengan hukum
taklifi berdasar dalil yang telah ditetapkan.
Sedang Ilmu Ushul Fiqih membicarakan tentang Al Qur'an dan Hadits dari
segi lafalnya, baik dalam bentuk amar, nahyi,’aam, khas mutlaq, mahfum,
maslahatul mursalah, syariat yang di tetapkan bagi umat yang terdahulu, yang
dapat dijadikan dasar dalam penetapan hukum pada setiap ucapan dan perbuatan mukallaf.
5. Ruang Lingkup Kajian Ushul Fiqih
- Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi (wajib, sunnat, mubah, makruh, haram) dan hukum wadl'i (sabab, syarat, mani', 'illat, shah, batal, azimah dan rukhshah).
b. Masalah perbuatan seseorang yang
akan dikenai hukum (mahkum fihi) seperti apakah perbuatan itu sengaja
atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia
atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.
c. Pelaku suatu perbuatan yang akan
dikenai hukum (mahkum 'alaihi) apakah pelaku itu mukallaf atau tidak,
apa sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyah atau
bukan, dan sebagainya.
d. Keadaan atau sesuatu yang
menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha
manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid
muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah.
e. Masalah istinbath dan
istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan
mafhum yang beraneka ragam, 'am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan
mansukh, dan sebagainya.
f. Masalah ra'yu, ijtihad,
ittiba' dan taqlid; meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas
penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya
taqlid dan sebagainya.
g. Masalah adillah syar'iyah,
yang meliputi pembahasan Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma', qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi,
al-'urf, syar'u man qablana, bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah, maqashidus
syari'ah/ususus syari'ah.
h. Masa'ah ra’yu dan qiyas;
meliputi. ashal, far'u, illat, masalikul illat, al-washful munasib, as-sabru
wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaul fariq;
dan selanjutnya dibicarakan masalah ta'arudl wat tarjih dengan berbagai
bentuk dan penyelesaiannya.
6. Hubungan antara Usul Fiqih dan ilmu lainnya
a. Hubungan Ilmu Ushul Fiqih dengan Ilmu Fiqih
Ilmu Fiqih
membahas dalil-dalil untuk menetapkan hukum-hukum cabang yang berhubungan
dengan perbuatan manusia. Sedangkan
ilmu ushul fiqih meninjau dari segi penetapan hukum, klasifikasi
argumentasi serta situasi dan kondisi yang melatar belakangi dalil-dalil
tersebut. Hubungan antara ushul fiqih dan fiqih, fiqih adalah hasil istimbath,
sedangkan cara istinbath dipelajari dalam ilmu ushul fiqih. Jadi hasil
perolehan dari ushul fiqih akan dibahas oleh ilmu fiqih yang tergolong dalam
hukum lima yaitu halal,haram, sunnah, wajib dan makruh. Kesimpulannya seorang
ahli fiqih tidak dapat terlepas dari ushul fiqih.
b. Hubungan Ilmu Ushul Fiqih dengan Ilmu Qowaidul Fiqih
Ilmu Qawa’id Fiqihiyah
membahas tentang kaidah-kaidah hukum secara umum yang diambil dari berbagai
permasalahan fiqih yang berserakan., Masalah-masalah fiqih yang mempunyai
persamaan dalam hukum dijadikan satu, sehingga menghasilkan sebuah kaidah. Ilmu
Ushul Fiqih membahas tentang kaidah-kaidah di dalam fiqih.
c. Hubungan Ilmu Ushul Fiqih dengan Bahasa Arab
Ilmu Bahasa Arab, yaitu
ilmu-ilmu yang membahas tentang Bahasa Arab dengan segala cabangnya. Ilmu
Ushul Fiqih bersumber dari Bahasa Arab, karena ilmu ini mempelajari
teks-teks yang ada di dalam Al Qur’an dan Al Hadits yang keduanya menggunakan
bahasa Arab. Ilmu bahasa Arab ini mempunyai hubungan yang paling erat dengan
ilmu ushul fiqih, karena mayoritas kajiannya adalah berkisar tentang
metodologi penggunaan dalil-dalil syar’i, baik yang bersifat al-lafdhi (tekstual) maupun yang
bersifat al ma’nawi (substansial)
dimana keduanya adalah pembahasan tentang bahasa Arab
d. Hubungan Ilmu Ushul Fiqih dengan Ilmu Ushuluddin
Ilmu Ushuludin , yaitu
ilmu-ilmu yang membahas masalah keyakinan. Ilmu ushul fiqih bersumber
dari ilmu ushuludin, karena dalil yang dibahas di dalam ushul fiqih adalah
dalil yang terdapat di dalam Al Qur’an dan As Sunnah , dan keduanya diturunkan
oleh Allah swt. Kalau tidak ada keyakinan seperti ini , niscaya
ilmu ushul fiqih ini tidak akan pernah muncul ke permukaan, karena salah satu
tujuan ilmu ini adalah meletakkan kaidah-kaidah di dalam proses pengambilan
hukum dari kedua sumber tadi.
e. Hubungan Ilmu Ushul Fiqih dengan Ilmu Mantiq
Ilmu mantiq merupakan
kaidah berfikir yang memelihara akal agar tidak terjadi kerancuan dalam
berfikir. Sedang Ilmu Ushul Fiqih
merupakan kaidah yang memelihara fuqaha agar tidak terjadi kesalahan dalam
meng-istinbath-kan hukum. Istimbath hukum dan penyusunan kaidah-kaidah
fiqih, ilmu mantiq sangat penting dalam istimbath hukum.
f. Hubungan Ilmu Ushul Fiqih dengan Ilmu Al Qur’an dan
Hadits
Ilmu Ushul Fiqih
pembahasanya didasarkan pada dalil yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits,
maka pengetahuan menyangkut kedua ilmu tersebut tidak dapat dipisahkan. Artinya
pembehasan ilmu Ushul Fiqih tidak akan keluar dari sumber dalil nash yang
paling absah kebenaranya.
7.
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqih pada Masa Rasulullah sampai
Tabi’in
1. Ilmu Fiqih
Tumbuhnya hukum-hukum fiqih itu bersama-sama tumbuhnya agama Islam. Karena agama Islam pada hakikatnya adalah himpunan daripada aqidah, akhlak dan hukum amaliyah. Hukum-hukum amaliyah ini pada masa Rasullullah SAW telah dibentuk dari beberapa hukum yang telah ada didalam al-Qur’an termasuk pula hukum-hukum yang keluar dari Rasulullah SAW dalam fatwanya terhadap sesuatu kejadian atau keputusan terhadap suatu perselisihan, dan atau jawaban terhadap suatu soal. Jadi hukum-hukum fiqih itu dalam periode pertamanya terjadi dari hukum Allah SWT dan Rasulnya. Sedangkan sumbernya adalah al-Qur’an dan al-Sunnah.
Pada masa sahabat, ditemukan kejadian-kejadian baru yang tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW, maka berijtihadlah ahli ijtihad diantara mereka dan mereka pun menetapkan beberapa hukum syari’at Islam yang disandarkan kepada hukum-hukum dalam periode pertama, sesuai dengan hasil ijtihadnya. Maka perwujudan hukum-hukum fiqih dalam periode keduanya adalah terjadi dari hukum Allah SWT dan Rasulnya, serta fatwa sahabat dan keputusannya. Jadi sumbernya ialah al-Qur’an al-Sunnah dan Ijtihad pada para sahabat. Tetapi pada dua periode ini, hukum-hukum itu belum dikodifikasikan dan belum pula disyariatkan hukum-hukum mengenai kejadian-kejadian yang masih bersifat kemungkinan, kecuali hanya mengenai kejadian yang sudah terjadi pada masa itu. Belum pula menjelma sebagai bentuk ilmu pengetahuan, karena hanya merupakan bagian daripada kejadian yang bersifat perbuatan. Himpunan ilmu ini juga belum disebut ilmu fiqih. Dan tokohnya dikalangan para sahabat nabi disebut fuqoha (ahli hukum).
Akan tetapi pada masa Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in serta imam-imam mujtahid yaitu sekitar dua abad hijriyah, (abad kedua dan ketiga hijriyah), yakni ketika Daulah Islamiyah sudah makin berkembang dan sudah banyak pengikut-pengikut Islam dari selain bangsa Arab, banyak pula kejadian baru, berbagai kesulitan, bahasan, pandangan dan kegiatan pembangunan material, spiritual yang memberi beban mujtahidin untuk meluaskan lapangan ijtihad dan pembentukan hukum syariat Islam terhadap beberapa kejadian/kasus, membuka pula bagi mereka pintu-pintu pembahasan dan pembicaraan. Maka makin luas pula lapangan pembentukan hukum-hukum syariat Islam (hukum fiqih) dan beberapa hukum mengenai beberapa peristiwa dan kejadian yang masih bersifat kemungkinan. Semua hukum itu disandarkan kepada dua himpunan hukum yang terdahulu (yakni periode Rasul SAW dan periode sahabat Rasul). Jadi himpunan hukum fiqih dalam periode ketiga adalah tersusun dari hukum-hukum Allah SWT, Rasulnya, fatwa dan keputusan sahabat Rosul. Dan yang keempat tersusun dari fatwa mujtahidin dari hasil ijtihad mereka. Sedang sumbernya ialah al-Qur’an, al-Sunnah, ijtihad sahabat dan Imam Mujtahidin.
Pada masa inilah dimulai kodifikasi hukum-hukum tersebut, bersama-sama dengan permulaan kodifikasi al-Sunnah, dan menjelmalah hukum-hukum itu sebagai ilmu pengetahuan, karena sudah dilengkapi dengan dalil-dalilnya, illatnya dan dalil-dalil pokok yang umum, yang dari situ bercabang-cabang pula beberapa ilmu pengetahuan agama Islam. Dan tokoh-tokoh ilmu itu disebut fuqoha’, sedang ilmunya disebut fiqih. Adapun ilmu fiqih yang pertama kali dikodifikasikan, sepanjang yang sampai kepada kita, ialah (kitab) Al-Muwaththo’nya Imam Malik bin Anas, disusun atas dasar permintaan kholifah al-Mansur berisi mengenai al-Sunnah dan fatwa sahabat serta tabi’in dan tabi’it tabi’in yang sah menurut Imam Malik. Jadi kodifikasi tersebut merupakan kitab hadits dan fiqih yang dijadikan asas bagi Fiqih Hijaz, disusul beberapa kitab fiqih oleh al-Imam Abu Yusuf, pengikut Abu Hanifah yang dijadikan sebagai asas Fiqih Iraq. Imam Muhammad bin al-Hasan pengikut Abu Hanifah pun tidak ketinggalan pula ikut mengkodifikasikan kitab-kitab yang lahirnya mengikuti riwayat enam, yang telah dihimpun oleh al-Hakim al-Syahid dalam kitabnya al-Kafi dan dikomentari oleh imam al-Sahsari dalam kitabnya al-Mabsuth yang dijadikan sebagai tempat kembali (referensi) madzhab Hanafi. Dan al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i mendiktekan kitabnya al-‘Um dimesir, yang dijadikan sebagai tiang/pilar fiqih mazhab Syafi’i.
1. Ilmu Fiqih
Tumbuhnya hukum-hukum fiqih itu bersama-sama tumbuhnya agama Islam. Karena agama Islam pada hakikatnya adalah himpunan daripada aqidah, akhlak dan hukum amaliyah. Hukum-hukum amaliyah ini pada masa Rasullullah SAW telah dibentuk dari beberapa hukum yang telah ada didalam al-Qur’an termasuk pula hukum-hukum yang keluar dari Rasulullah SAW dalam fatwanya terhadap sesuatu kejadian atau keputusan terhadap suatu perselisihan, dan atau jawaban terhadap suatu soal. Jadi hukum-hukum fiqih itu dalam periode pertamanya terjadi dari hukum Allah SWT dan Rasulnya. Sedangkan sumbernya adalah al-Qur’an dan al-Sunnah.
Pada masa sahabat, ditemukan kejadian-kejadian baru yang tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW, maka berijtihadlah ahli ijtihad diantara mereka dan mereka pun menetapkan beberapa hukum syari’at Islam yang disandarkan kepada hukum-hukum dalam periode pertama, sesuai dengan hasil ijtihadnya. Maka perwujudan hukum-hukum fiqih dalam periode keduanya adalah terjadi dari hukum Allah SWT dan Rasulnya, serta fatwa sahabat dan keputusannya. Jadi sumbernya ialah al-Qur’an al-Sunnah dan Ijtihad pada para sahabat. Tetapi pada dua periode ini, hukum-hukum itu belum dikodifikasikan dan belum pula disyariatkan hukum-hukum mengenai kejadian-kejadian yang masih bersifat kemungkinan, kecuali hanya mengenai kejadian yang sudah terjadi pada masa itu. Belum pula menjelma sebagai bentuk ilmu pengetahuan, karena hanya merupakan bagian daripada kejadian yang bersifat perbuatan. Himpunan ilmu ini juga belum disebut ilmu fiqih. Dan tokohnya dikalangan para sahabat nabi disebut fuqoha (ahli hukum).
Akan tetapi pada masa Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in serta imam-imam mujtahid yaitu sekitar dua abad hijriyah, (abad kedua dan ketiga hijriyah), yakni ketika Daulah Islamiyah sudah makin berkembang dan sudah banyak pengikut-pengikut Islam dari selain bangsa Arab, banyak pula kejadian baru, berbagai kesulitan, bahasan, pandangan dan kegiatan pembangunan material, spiritual yang memberi beban mujtahidin untuk meluaskan lapangan ijtihad dan pembentukan hukum syariat Islam terhadap beberapa kejadian/kasus, membuka pula bagi mereka pintu-pintu pembahasan dan pembicaraan. Maka makin luas pula lapangan pembentukan hukum-hukum syariat Islam (hukum fiqih) dan beberapa hukum mengenai beberapa peristiwa dan kejadian yang masih bersifat kemungkinan. Semua hukum itu disandarkan kepada dua himpunan hukum yang terdahulu (yakni periode Rasul SAW dan periode sahabat Rasul). Jadi himpunan hukum fiqih dalam periode ketiga adalah tersusun dari hukum-hukum Allah SWT, Rasulnya, fatwa dan keputusan sahabat Rosul. Dan yang keempat tersusun dari fatwa mujtahidin dari hasil ijtihad mereka. Sedang sumbernya ialah al-Qur’an, al-Sunnah, ijtihad sahabat dan Imam Mujtahidin.
Pada masa inilah dimulai kodifikasi hukum-hukum tersebut, bersama-sama dengan permulaan kodifikasi al-Sunnah, dan menjelmalah hukum-hukum itu sebagai ilmu pengetahuan, karena sudah dilengkapi dengan dalil-dalilnya, illatnya dan dalil-dalil pokok yang umum, yang dari situ bercabang-cabang pula beberapa ilmu pengetahuan agama Islam. Dan tokoh-tokoh ilmu itu disebut fuqoha’, sedang ilmunya disebut fiqih. Adapun ilmu fiqih yang pertama kali dikodifikasikan, sepanjang yang sampai kepada kita, ialah (kitab) Al-Muwaththo’nya Imam Malik bin Anas, disusun atas dasar permintaan kholifah al-Mansur berisi mengenai al-Sunnah dan fatwa sahabat serta tabi’in dan tabi’it tabi’in yang sah menurut Imam Malik. Jadi kodifikasi tersebut merupakan kitab hadits dan fiqih yang dijadikan asas bagi Fiqih Hijaz, disusul beberapa kitab fiqih oleh al-Imam Abu Yusuf, pengikut Abu Hanifah yang dijadikan sebagai asas Fiqih Iraq. Imam Muhammad bin al-Hasan pengikut Abu Hanifah pun tidak ketinggalan pula ikut mengkodifikasikan kitab-kitab yang lahirnya mengikuti riwayat enam, yang telah dihimpun oleh al-Hakim al-Syahid dalam kitabnya al-Kafi dan dikomentari oleh imam al-Sahsari dalam kitabnya al-Mabsuth yang dijadikan sebagai tempat kembali (referensi) madzhab Hanafi. Dan al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i mendiktekan kitabnya al-‘Um dimesir, yang dijadikan sebagai tiang/pilar fiqih mazhab Syafi’i.
2. Ilmu Ushul Fiqih
Adapun ilmu Ushul Fiqih, tidaklah tumbuh kecuali pada abad kedua hijriah, karena pada abad pertama hijriah, ilmu tersebut belum diperlukan, dimana Rasul SAW berfatwa dan menjatuhkan keputusan (hukum) menurut ajaran al-Qur’an yang diwahyukan kepadanya. Juga menurut ijtihadnya secara naluri (al-fitri) tanpa memerlukan ushul dan kaidah yang dijadikan pedoman dalam istimbath dan berijtihad. Sedangkan para sahabat Nabi SAW memberi fatwa hukum dan menelorkan keputusan dengan dalil-dalil nash yang dapat mereka fahami berdasarkan kemampuan bahasa arab yang baik tanpa memerlukan kaidah bahasa yang dijadikan pedoman dalam memahami nash. Mereka juga melakukan istimbath terhadap hukum yang tidak dapat nash baginya berdasarkan kemampuan mereka dalam membina hukum syariat Islam yang telah mereka jiwai lantaran pergaulan mereka dengan Rasulullah SAW. Disamping itu mereka juga menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat dan datangnya hadits-hadits mereka telah memahami tujuan-tujuan pembuat hukum syari’at Islam (syar’i) dan dasar-dasar pembentukannya.
Tetapi ketika kemenangan Islam makin bertambah luas dan bangsa Arab sudah bergaul dengan bangsa-bangsa lain, bergaul dalam bahasa dan bergaul dalam tulis-menulis, sehingga dalam bahasa arab terjadi beberapa mufrodat (kata-kata baru) dan uslub-uslub (gaya bahasa) yang bukan bahasa arab, maka tidaklah kekal naluri bahasa itu dalam kondisi yang murni. Terjadilah kesamaran dan kemungkinan-kemungkinan lain yang harus terjadi dalam memahami nash. Dari itulah diperlukan menyusun batasan-batasan dan kaidah-kaidah bahasa, yang dengan itu nash bisa difahami sebagaimana arab dapat memahaminya lantaran datang sesuai dengan bahasanya. Fungsi menyusun kaidah itu adalah tidak jauh berbeda dengan diperlukaannya menyusun kaidah-kaidah Nahwu, yang dengan itu seseorang bisa berbahasa secara baik.
Begitu juga ketika benar-benar telah jauh masa fajar pembentukan hukum syariat Islam (yakni masa pembentukannya), terjadilah perbedaan sengit diantara Ahlu al-Hadits dan Ahlu al-Ro’yi. Makin berani pula sebagian orang-orang yang bukan ahli ilmu agama (Ahlul Ahwa’) menjadikan hujjah. Semua ini suatu dorongan dan motivasi disusunnya batasan-batasan dan bahasan-bahasan mengenai dalil Syar’iyah dan syarat-syarat ataupun cara menggunakan dalil daripada dalil-dalil tersebut. Keseluruhan bahasan-bahasan tentang penggunaan dalil dan batasan-batasan atau kaidah-kaidah bahasa itulah yang kemudian menjelma menjadi Ilmu Ushul Fiqih.
Akan tetapi ilmu itu tumbuh dengan kondisi yang minim atau sederhana/kecil, sebagaimana setiap anak yang lahir itu juga kecil pada asal pertumbuhannya, kemudian sedikit demi sedikit meningkatlah pertumbuhannya, sehingga mencapai perjalanan yang berusia 200 tahun. Mulailah ia tumbuh dengan subur, tersebar dan terpencar disela-sela hukum fikih. Karena setiap mujtahid diantara imam mujtahid yang empat ataupun lainnya, memberikan petunjuk kepada dalil hukumnya, dan arah istidlalnya dengan ilmu Ushul Fiqih. Sedangkan mujtahid yang menyalahinya, berarti ia telah membuat hujjah dengan menyalahi beberapa aspek tentang hujjah. Padahal semua bentuk menggunakan dalil (istidlal) dan bentuk menggunakan hujjah (ihtijaj), adalah tersimpan di dalam kaidah-kaidah ushul.
Orang yang pertama kali menghimpun kaidah yang bercerai-berai di dalam satu himpunan, ialah Imam Abu Yusuf pengikut Abu Hanifah, seperti yang telah disebutkan oleh Ibnu Nadim dalam al-Fihrosat (sebuah catatan kaki). Namun apa yang dia tulis itu tidak sampai kepada kita.
Sedangkan orang yang pertama kali mengadakan kodifikasi kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan ilmu ini, sehingga merupakan kumpulan tersendiri secara tertib (sistematis), dan masing-masing kaidah itu dikuatkan dengan dalil dan keterangan/uraian yang mendalam (serius), ialah al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i, yang meninggal pada tahun 204 H. Dalam pentadwinan (kodifikasi) itu telah ditulis kitab Risalah Ushuliyah, yang telah diriwayatkan oleh pengikutnya, al-Robi’ al-Murodi. Kitab itulah sebagai kitab kodifikasi yang pertama kali dalam ilmu ini, dan itulah satu-satunya yang sampai kepada kita sepanjang pengetahuan kita. Karena itu populerlah dikalangan para ulama, bahwa pendasar ilmu Ushulul Fiqh adalah Imam al-Syafi’i.
Setelah itu berturut-turut para ulama’ mengarang ilmu ini dengan bentuk yang panjang lebar (ishab) atapun ringkas (ijaz). Ulama kalam pun (ahli teologi) juga menempuh jalan atau sistem untuk menyusun ilmu ini. Dan Ulama Hanafiyah dalam menyusun ilmu ini menempuh sistem yang lain.
Kelebihan Ulama kalam dalam menempuh sistem penyusunan ilmu ini, ialah pembuktiannya terhadap kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan ilmu ini secara logika yang rasional. Mereka telah menetapkan sesuatu yang terdapat dalil (al-Burhan) baginya. Perhatian mereka tidak diarahkan kepada soal penerapan kaidah-kaidah itu terhadap hukum yang telah di istimbathkan oleh para imam mujtahidin atau hubungan kaidah-kaidah itu dengan masalah-masalah furu’ (masalah khilafiah), akan tetapi apa saja yang dianggap rasional dan terdapat dalil baginya, maka itulah sumber pokok hukum syariat Islam, baik itu sesuai dengan masalah-masalah furu’ dalam berbagai madzhab mujtahidin, ataupun menyalahinya.
Di antara ulama kalam yang paling menguasai keahliannya dalam bidang ilmu Ushul Fiqih, ialah Ulama Syafi’iyah dan ulama Malikiyah.
Kitab-kitab ushul yang termasyhur dan disusun dengan sistem tersebut diatas, diantaranya ialah: Kitab al-Mustashfa, karangan Abu Hamid al-Ghozali al-Syafi’i, wafat pada 505 H, kitab al-Ahkam, karangan Abu Hasan al-Amidi al-Syafi’i wafat pada 613 H, dan kitab al-Minhaj karangan al-Baidhowi al-Syafi’i wafat pada 685 H. Sedangkan diantara kitab syarah (komentar dan analisa) yang terbaik ialah kitab syarah Al-Asnawi.
Adapun Ulama Hanafiyah, kelebihan sistemnya dalam penyusunan ilmu ini, ialah dalam hal menyusun kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan ushuliyah yang telah diyakini oleh mereka bahwa para imamnya telah menyadarkan ijtihadnya kepada kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan ushuliyah tersebut. Jadi mereka tidak menetapkan kaidah-kaidah amaliyah, dimana telah bercabang dari pada kaidah-kaidah itu, hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh para imamnya. Sedangkan yang memberikan motivasi dan dorongan kepada mereka dalam membuktikan kaidah-kaidah tersebut, ialah beberapa hukum yang telah diistimbathkan oleh para imamnya, dengan berdasarkan kepadanya, bukan sekedar dalil yang bersifat teoritis. Karena itu mereka telah memperbanyak menyebutkan masalah-masalah furu’ dalam beberapa kitabnya. Pada suatu saat mereka juga menaruh perhatian secara serius tentang kaidah-kaidah ushuliyah mengenai masalah-masalah yang telah disepakati dan juga masalah-masalah furu’. Jadi semata-mata perhatian mereka itu tertuju kepada masalah ushulul fiqh para imamnya yang diambil dari masalah-masalah furu’ dalam melakukan istimbad. Diantara kitab-kitab ushul termasyhur yang disusun dengan sistem ini ialah kitab ushul Abi Zaid al-Dabusi, wafat pada tahun 430 H, dan kitab al-Manar buah pena al-Hafizh al-Nasafi, wafat pada 790 H. Sedangkan diantara kitab syarah (komentar) yang terbaik, ialah kitab Misykatul Anwar.
Adapun ilmu Ushul Fiqih, tidaklah tumbuh kecuali pada abad kedua hijriah, karena pada abad pertama hijriah, ilmu tersebut belum diperlukan, dimana Rasul SAW berfatwa dan menjatuhkan keputusan (hukum) menurut ajaran al-Qur’an yang diwahyukan kepadanya. Juga menurut ijtihadnya secara naluri (al-fitri) tanpa memerlukan ushul dan kaidah yang dijadikan pedoman dalam istimbath dan berijtihad. Sedangkan para sahabat Nabi SAW memberi fatwa hukum dan menelorkan keputusan dengan dalil-dalil nash yang dapat mereka fahami berdasarkan kemampuan bahasa arab yang baik tanpa memerlukan kaidah bahasa yang dijadikan pedoman dalam memahami nash. Mereka juga melakukan istimbath terhadap hukum yang tidak dapat nash baginya berdasarkan kemampuan mereka dalam membina hukum syariat Islam yang telah mereka jiwai lantaran pergaulan mereka dengan Rasulullah SAW. Disamping itu mereka juga menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat dan datangnya hadits-hadits mereka telah memahami tujuan-tujuan pembuat hukum syari’at Islam (syar’i) dan dasar-dasar pembentukannya.
Tetapi ketika kemenangan Islam makin bertambah luas dan bangsa Arab sudah bergaul dengan bangsa-bangsa lain, bergaul dalam bahasa dan bergaul dalam tulis-menulis, sehingga dalam bahasa arab terjadi beberapa mufrodat (kata-kata baru) dan uslub-uslub (gaya bahasa) yang bukan bahasa arab, maka tidaklah kekal naluri bahasa itu dalam kondisi yang murni. Terjadilah kesamaran dan kemungkinan-kemungkinan lain yang harus terjadi dalam memahami nash. Dari itulah diperlukan menyusun batasan-batasan dan kaidah-kaidah bahasa, yang dengan itu nash bisa difahami sebagaimana arab dapat memahaminya lantaran datang sesuai dengan bahasanya. Fungsi menyusun kaidah itu adalah tidak jauh berbeda dengan diperlukaannya menyusun kaidah-kaidah Nahwu, yang dengan itu seseorang bisa berbahasa secara baik.
Begitu juga ketika benar-benar telah jauh masa fajar pembentukan hukum syariat Islam (yakni masa pembentukannya), terjadilah perbedaan sengit diantara Ahlu al-Hadits dan Ahlu al-Ro’yi. Makin berani pula sebagian orang-orang yang bukan ahli ilmu agama (Ahlul Ahwa’) menjadikan hujjah. Semua ini suatu dorongan dan motivasi disusunnya batasan-batasan dan bahasan-bahasan mengenai dalil Syar’iyah dan syarat-syarat ataupun cara menggunakan dalil daripada dalil-dalil tersebut. Keseluruhan bahasan-bahasan tentang penggunaan dalil dan batasan-batasan atau kaidah-kaidah bahasa itulah yang kemudian menjelma menjadi Ilmu Ushul Fiqih.
Akan tetapi ilmu itu tumbuh dengan kondisi yang minim atau sederhana/kecil, sebagaimana setiap anak yang lahir itu juga kecil pada asal pertumbuhannya, kemudian sedikit demi sedikit meningkatlah pertumbuhannya, sehingga mencapai perjalanan yang berusia 200 tahun. Mulailah ia tumbuh dengan subur, tersebar dan terpencar disela-sela hukum fikih. Karena setiap mujtahid diantara imam mujtahid yang empat ataupun lainnya, memberikan petunjuk kepada dalil hukumnya, dan arah istidlalnya dengan ilmu Ushul Fiqih. Sedangkan mujtahid yang menyalahinya, berarti ia telah membuat hujjah dengan menyalahi beberapa aspek tentang hujjah. Padahal semua bentuk menggunakan dalil (istidlal) dan bentuk menggunakan hujjah (ihtijaj), adalah tersimpan di dalam kaidah-kaidah ushul.
Orang yang pertama kali menghimpun kaidah yang bercerai-berai di dalam satu himpunan, ialah Imam Abu Yusuf pengikut Abu Hanifah, seperti yang telah disebutkan oleh Ibnu Nadim dalam al-Fihrosat (sebuah catatan kaki). Namun apa yang dia tulis itu tidak sampai kepada kita.
Sedangkan orang yang pertama kali mengadakan kodifikasi kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan ilmu ini, sehingga merupakan kumpulan tersendiri secara tertib (sistematis), dan masing-masing kaidah itu dikuatkan dengan dalil dan keterangan/uraian yang mendalam (serius), ialah al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i, yang meninggal pada tahun 204 H. Dalam pentadwinan (kodifikasi) itu telah ditulis kitab Risalah Ushuliyah, yang telah diriwayatkan oleh pengikutnya, al-Robi’ al-Murodi. Kitab itulah sebagai kitab kodifikasi yang pertama kali dalam ilmu ini, dan itulah satu-satunya yang sampai kepada kita sepanjang pengetahuan kita. Karena itu populerlah dikalangan para ulama, bahwa pendasar ilmu Ushulul Fiqh adalah Imam al-Syafi’i.
Setelah itu berturut-turut para ulama’ mengarang ilmu ini dengan bentuk yang panjang lebar (ishab) atapun ringkas (ijaz). Ulama kalam pun (ahli teologi) juga menempuh jalan atau sistem untuk menyusun ilmu ini. Dan Ulama Hanafiyah dalam menyusun ilmu ini menempuh sistem yang lain.
Kelebihan Ulama kalam dalam menempuh sistem penyusunan ilmu ini, ialah pembuktiannya terhadap kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan ilmu ini secara logika yang rasional. Mereka telah menetapkan sesuatu yang terdapat dalil (al-Burhan) baginya. Perhatian mereka tidak diarahkan kepada soal penerapan kaidah-kaidah itu terhadap hukum yang telah di istimbathkan oleh para imam mujtahidin atau hubungan kaidah-kaidah itu dengan masalah-masalah furu’ (masalah khilafiah), akan tetapi apa saja yang dianggap rasional dan terdapat dalil baginya, maka itulah sumber pokok hukum syariat Islam, baik itu sesuai dengan masalah-masalah furu’ dalam berbagai madzhab mujtahidin, ataupun menyalahinya.
Di antara ulama kalam yang paling menguasai keahliannya dalam bidang ilmu Ushul Fiqih, ialah Ulama Syafi’iyah dan ulama Malikiyah.
Kitab-kitab ushul yang termasyhur dan disusun dengan sistem tersebut diatas, diantaranya ialah: Kitab al-Mustashfa, karangan Abu Hamid al-Ghozali al-Syafi’i, wafat pada 505 H, kitab al-Ahkam, karangan Abu Hasan al-Amidi al-Syafi’i wafat pada 613 H, dan kitab al-Minhaj karangan al-Baidhowi al-Syafi’i wafat pada 685 H. Sedangkan diantara kitab syarah (komentar dan analisa) yang terbaik ialah kitab syarah Al-Asnawi.
Adapun Ulama Hanafiyah, kelebihan sistemnya dalam penyusunan ilmu ini, ialah dalam hal menyusun kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan ushuliyah yang telah diyakini oleh mereka bahwa para imamnya telah menyadarkan ijtihadnya kepada kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan ushuliyah tersebut. Jadi mereka tidak menetapkan kaidah-kaidah amaliyah, dimana telah bercabang dari pada kaidah-kaidah itu, hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh para imamnya. Sedangkan yang memberikan motivasi dan dorongan kepada mereka dalam membuktikan kaidah-kaidah tersebut, ialah beberapa hukum yang telah diistimbathkan oleh para imamnya, dengan berdasarkan kepadanya, bukan sekedar dalil yang bersifat teoritis. Karena itu mereka telah memperbanyak menyebutkan masalah-masalah furu’ dalam beberapa kitabnya. Pada suatu saat mereka juga menaruh perhatian secara serius tentang kaidah-kaidah ushuliyah mengenai masalah-masalah yang telah disepakati dan juga masalah-masalah furu’. Jadi semata-mata perhatian mereka itu tertuju kepada masalah ushulul fiqh para imamnya yang diambil dari masalah-masalah furu’ dalam melakukan istimbad. Diantara kitab-kitab ushul termasyhur yang disusun dengan sistem ini ialah kitab ushul Abi Zaid al-Dabusi, wafat pada tahun 430 H, dan kitab al-Manar buah pena al-Hafizh al-Nasafi, wafat pada 790 H. Sedangkan diantara kitab syarah (komentar) yang terbaik, ialah kitab Misykatul Anwar.
8.
Aliran-aliran Dalam Ilmu Ushul Fiqih
Abad kedua hijriyah yang dikenal dengan nama masa tabi’it tabi’in dan imam-imam mazhab seperti Malik bin Anas yang terkenal ahli hadis dengan kitabnya al-Muwatha, Imam Abu Yusuf seorang faqih di Irak, Abu Hanifah, Asy Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Pada periode inilah dimulai gerakan pembukuan sunnah, fikih dan cabang-cabangnya.
Seperti dikemukakan, ushul fikih dikenal sebagai suatu cabang ilmu yang berdiri sendiri juga lahir pada abad kedua hijriyah atau masa tabi’it-tabi’in yaitu dengan hadirnya kitab al-Risalah hasil karya monomental dari Imam Asy-Syafi’i (wafat 204 H). Dengan kehadiran kitab al-Risalah, mulailah para ulama berlomba menyusun ilmu ushul fikih sehingga ia lebih berkembang menuju kepada kesempurnaannya.
Imam-imam mujtahid dalam menyusun kaidah-kaidah istinbath hukum ada yang mengikuti jejak yang telah ditempuh oleh Asy-Syafi’i dan ada pula yang membuat kaidah atau istilah-istilah dan metode tersendiri. Dari sinilah kemudian lahirnya aliran-aliran ushul fikih yang pada dasarnya ada dua aliran yaitu: Aliran Kalamiyah dan aliran Hanafiyah.
Abad kedua hijriyah yang dikenal dengan nama masa tabi’it tabi’in dan imam-imam mazhab seperti Malik bin Anas yang terkenal ahli hadis dengan kitabnya al-Muwatha, Imam Abu Yusuf seorang faqih di Irak, Abu Hanifah, Asy Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Pada periode inilah dimulai gerakan pembukuan sunnah, fikih dan cabang-cabangnya.
Seperti dikemukakan, ushul fikih dikenal sebagai suatu cabang ilmu yang berdiri sendiri juga lahir pada abad kedua hijriyah atau masa tabi’it-tabi’in yaitu dengan hadirnya kitab al-Risalah hasil karya monomental dari Imam Asy-Syafi’i (wafat 204 H). Dengan kehadiran kitab al-Risalah, mulailah para ulama berlomba menyusun ilmu ushul fikih sehingga ia lebih berkembang menuju kepada kesempurnaannya.
Imam-imam mujtahid dalam menyusun kaidah-kaidah istinbath hukum ada yang mengikuti jejak yang telah ditempuh oleh Asy-Syafi’i dan ada pula yang membuat kaidah atau istilah-istilah dan metode tersendiri. Dari sinilah kemudian lahirnya aliran-aliran ushul fikih yang pada dasarnya ada dua aliran yaitu: Aliran Kalamiyah dan aliran Hanafiyah.
Aliran Kalamiyah
dalam pembahasan ushulnya biasanya mengikuti cara-cara pembahasan yang ditempuh
oleh ulama kalam. Pembahasan mereka didasarkan kepada penerapan kaidah dan
alasan-alasan yang kuat dalam menetapkan kaidah-kaidah itu tanpa terikat apakah
kaidah itu sesuai dengan pendapat imam mazhabnya atau tidak, apakah sesuai
dengan furu’ yang telah berjalan dan berkembang dalam mazhabnya atau tidak.
Selama mereka menganggap bahwa kaidah-kaidah yang ditetapkan dan alasan-alasan
itu kuat, itulah yang mereka pegang terlepas sesuai atau tidak dengan
mazhabnya. Yang termasuk aliran ini kebanyakannya para ulama ahli ushul fikih
dari golongan Syafi’iyah dan Malikiyah.
Sedang aliran Hanafiyah, dalam pembahasan ushulnya berangkat dari kasus-kasus atau soal-soal furu’iyah yang terjadi dan berusaha menyesuaikan dengan yang telah disepakati oleh imam mazhab mereka.
Apabila kaidah-kaidah tersebut bertentangan dengan soal-soal furu’ maka kaidah itu diubah sehingga sesuai dengan furu’ tersebut. Dengan demikian ushul dari aliran Hanafiyah ini banyak berisi hukum furu’, karena furu’ itulah yang menjadi dasar bagi pembentukan kaidah-kaidah yang ditetapkannya. Di samping dua aliran di atas, ada pula aliran ushul fikih yang berusaha mengkombinasikan kedua aliran itu yang biasa disebut thariqah al-jam’an atau aliran konvergensi. Aliran ini, dalam konteks tertentu cenderung kepada aliran kalam (tradisional), namun pada kasus lain cenderung kepada aliran rasionalisme Hanafiyah.
Sedang aliran Hanafiyah, dalam pembahasan ushulnya berangkat dari kasus-kasus atau soal-soal furu’iyah yang terjadi dan berusaha menyesuaikan dengan yang telah disepakati oleh imam mazhab mereka.
Apabila kaidah-kaidah tersebut bertentangan dengan soal-soal furu’ maka kaidah itu diubah sehingga sesuai dengan furu’ tersebut. Dengan demikian ushul dari aliran Hanafiyah ini banyak berisi hukum furu’, karena furu’ itulah yang menjadi dasar bagi pembentukan kaidah-kaidah yang ditetapkannya. Di samping dua aliran di atas, ada pula aliran ushul fikih yang berusaha mengkombinasikan kedua aliran itu yang biasa disebut thariqah al-jam’an atau aliran konvergensi. Aliran ini, dalam konteks tertentu cenderung kepada aliran kalam (tradisional), namun pada kasus lain cenderung kepada aliran rasionalisme Hanafiyah.
10. Tokoh-tokoh dalam Aliran Ushul Fiqih dan Kitab-kitabnya
Di antara tokoh aliran yang disebut di atas yakni Imam Kamal al-Din bin al-Humam dengan kitabnya al-Tahrir dan Tajuddin Abdul Wahab al-Subhi dengan kitabnya Jam’ul-Jawami. Kemudian pada abad ke-8 Hijriyah tampil Imam al-Syathibi (w. 790 H) yang memberi warna baru di bidang ushul fikih dengan kitabnya al-Muwafiqat fi Ushul al-Syari’ah. Dalam kitab ini, di samping diuraikan berbagai kaidah yang berkaitan dengan aspek-aspek kebahasaan juga dikemukakan tujuan-tujuan syara’ dalam menetapkan hukum. Kitab ini dinilai sebagai kitab ushul fikih yang komprehensif dan akomodatif untuk saat ini.
Dalam penyusunan ilmu ini, sebagian ulama juga telah menempuh sistem yang menghimpun diantara dua sistem yang tersebut diatas. Mereka memperhatikan kaidah-kaidah ushuliyah dan mengemukakan dalil-dalil atas kaidah-kaidah itu. Juga memperhatikan penerapannya terhadap masalah fikih far’iyah dan hubungannya dengan kaidah-kaidah tersebut.
Di antara kitab ushul termasyhur yang disusun dengan sistem perpaduan (kombinasi) ini, ialah Badi-un Nizhom, yang menghimpun diantara kitab al-Bazdowi dan kitab al-Ahkam, karangan Muzhaffaruddin al-Baghdadi al-Hanafi, wafat pada 694 H, dan kitab At-Taudhih Shadris Syariah dan kitab at-Tahrir, karangan Al-Kamal bin Al-Hamam, dan kitab Jam’ul Jawaami’ karangan Ibnus Subki.
Sedangkan kitab-kitab susunan baru yang ringkas dan berguna dalam ilmu ini, ialah: kitab Irsyadulfuhu-Ilatahqiqil Haqqi min Ilmil Ushul, karangan Imam al-Syaqoni, meninggal pada 1250 H. Kitab Ushulul Fiqh buah pena almarhum al-Sayid Muhammad Hudhori Bek, meninggal pada 1927 M, dan kitab Tashilul Wushul Ila Ilmil Ushul, karangan almarhum al-Syaikh Muhammad Abd.Rahman ‘Aid al-Mihlawi, wafat pada 1920 M.
Di antara tokoh aliran yang disebut di atas yakni Imam Kamal al-Din bin al-Humam dengan kitabnya al-Tahrir dan Tajuddin Abdul Wahab al-Subhi dengan kitabnya Jam’ul-Jawami. Kemudian pada abad ke-8 Hijriyah tampil Imam al-Syathibi (w. 790 H) yang memberi warna baru di bidang ushul fikih dengan kitabnya al-Muwafiqat fi Ushul al-Syari’ah. Dalam kitab ini, di samping diuraikan berbagai kaidah yang berkaitan dengan aspek-aspek kebahasaan juga dikemukakan tujuan-tujuan syara’ dalam menetapkan hukum. Kitab ini dinilai sebagai kitab ushul fikih yang komprehensif dan akomodatif untuk saat ini.
Dalam penyusunan ilmu ini, sebagian ulama juga telah menempuh sistem yang menghimpun diantara dua sistem yang tersebut diatas. Mereka memperhatikan kaidah-kaidah ushuliyah dan mengemukakan dalil-dalil atas kaidah-kaidah itu. Juga memperhatikan penerapannya terhadap masalah fikih far’iyah dan hubungannya dengan kaidah-kaidah tersebut.
Di antara kitab ushul termasyhur yang disusun dengan sistem perpaduan (kombinasi) ini, ialah Badi-un Nizhom, yang menghimpun diantara kitab al-Bazdowi dan kitab al-Ahkam, karangan Muzhaffaruddin al-Baghdadi al-Hanafi, wafat pada 694 H, dan kitab At-Taudhih Shadris Syariah dan kitab at-Tahrir, karangan Al-Kamal bin Al-Hamam, dan kitab Jam’ul Jawaami’ karangan Ibnus Subki.
Sedangkan kitab-kitab susunan baru yang ringkas dan berguna dalam ilmu ini, ialah: kitab Irsyadulfuhu-Ilatahqiqil Haqqi min Ilmil Ushul, karangan Imam al-Syaqoni, meninggal pada 1250 H. Kitab Ushulul Fiqh buah pena almarhum al-Sayid Muhammad Hudhori Bek, meninggal pada 1927 M, dan kitab Tashilul Wushul Ila Ilmil Ushul, karangan almarhum al-Syaikh Muhammad Abd.Rahman ‘Aid al-Mihlawi, wafat pada 1920 M.
B. Jawablah pertanyaan
berikut dengan baik dan benar.
1. Jelaskan
pengertian ushul Fiqih!
2.
Jelaskan perbedaan antara ilmu Fiqih dan ushul Fiqih!
3.
Jelaskan pendapat mustofa azuhali tentang obyek kajian ushul Fiqih!
4.
Jerlaskan ruang lingkup ushul Fiqih!
5. Jelaskan hubungan antara ilmu Fiqih dan ushul Fiqih!
Tidak ada komentar